Prof. Abu Hamid |
ARUNGSEJARAH.COM - Sawerigading Simbol Budaya Maritim.
D. SAWEREGADING: SIMBOL BUDAYA MARITIM
Dalam babakan sejarah kuno di Sulawesi Selatan belum dapat ditentukan secara ilmiah, kapan Sawerigading hidup, karena tiadanya prasasti sebagaimana halnya di Jawa. Naskah La Galigo tidak menunjukkan waktu atau membandingkan dengan penguasa di tempat lain untuk dipelajari. Hanya ada sedikit perkiraan dari catatan Abd. Rahman Al Ahmadi dalam makalanya pada seminar I La Galigo di Jakarta (Tanggal 04 s/d 06 Desember 1986) menyebutkan;
“Pada tahun 774 dan 787 M mereka menyerang Campa dan Kamboja, serangan itu dipimpin oleh Sanjaya dan Sawerigading. Kajian lebih lanjut mengenai serangan Sanjaya dan Sawerigading ini terhadap Semenanjung Indocina perlu dilakukan. Serangan ini bukanlah bersifat perampok laut, seperti dikatakan berita Cina, melainkan perlu dikaji dari persfektif kedudukan situasi Indocina dan Semenanjung Segenting Kra waktu itu yang selalu diancam oleh Cina dan Annam. Strategi Sanjaya dan Sawerigading ini sama dengan politik Pan Melayu di zaman Kertanegara dan Nusantara Gajah Mada abad ke 13 dan 14”.Sanjaya adalah Raja Mataram yang dikenal berdiri 732 M menurut prasasti yang ditemukan di desa Canggal (Barat Daya Magelang). Kalau catatan di atas dapat dipercaya, maka Sawerigading hidup dalam abad ke 8 M, sezaman dengan Sanjaya.
Pelayaran Sawerigading ke Cina (Indocina), bermula dari keinginan Sawerigading mengawini adik kembarnya We Tenriabeng yang baru dilihatnya, karena keduanya dibesarkan secara terpisah. Perkawinan semacam ini, dianggap incest (sumbang) yang menyalahi kaidah adat yang telah diperintahkan oleh Dewata. Ayahnya Batara Lattu’ bersama penghulu adat mencegahnya dan bersama We Tenriabeng sendiri menganjurkanya ke Cina mengawini sepupu sekalinya We Cu Dai.
Orang tuanya sendiri mengambil inisiatif, mempersiapkan segala sesuatunya termasuk sejumlah armada perahu dengan ratusan pendayung, disertai kakak sepupunya La Pananrang. Khusus perahu Sawerigading, dibuat dari pohon kayu Welenreng di Mangkutu, ditata sedemikian besar dan agungnya. Perahu itu dinamai Wakka-tana.
Masyarakat Bugis pada masa Sawerigading sudah mempunyai budaya maritim yang disimbolisasi oleh tokoh Sawerigading. Dalam naskah tersebut, Sawerigading dikatakan tini relle’, yaitu selalu menghilang dipandangan mata, karena sedang melayari kawasan bagian Timur Nusantara dan mungkin pula turut berperang bersama Sanjaya di kawasan Melayu. Sawerigading mengunjungi negeri Wedeng, Tompo Tikka, Sunra Riaja, dan Sunra Ri Lau’, Mekongga (Kolaka), Konawe (Kendari), Olio (Buton), Bantayang, (Bantaeng), dan Milikiu (Maluku).
Kecerdasan orang Bira, Ara dan Lemo-lemo di kabupaten Bulukumba membuat perahu, bermula dari perahu Sawerigading. Dikatakan, sebelum Sawerigading meninggalkan Tana Luwu untuk berangkat ke Tana Cina, Ia bersumpah untuk tidak menginjakkan kakinya di Tana Luwu, namun setelah berdiam di Tana Cina, suatu ketika tergerak hatinya untuk kembali ke negerinya, karena rindu pada orang tuanya, tanpa mengingat sumpahnya lagi.
Ia berangkat bersama istrinya dan di tengah lautan, seketika ombak dan angin datang memecahkan perahunya. Kepingan-kepingan papan perahu mengalir dan terdampar di Bira. Kayu balok dan gading-gading perahu terdampar di Ara, Sotting (lunas bagian buritan dan haluan) terdampar di Lemo-lemo. Ia termakan oleh sumpahnya sendiri, lalu ia turun ke Pérétiwi (Benua Bawah), dan ia diangkat menjadi penguasa.
Ketika komunitas ini belajar dari bentuk perahu Sawerigading, secara berangsur-angsur mereka menjadi ahli membangun perahu dan diwariskan kepada keturunanya. Mungkin tidak berlebihan perahu Phinisi Nusantara diangkat sebagai bukti pemilikan warisan budaya atas keahlian masyarakat Bugis/Makassar di daerah Bulukumba membuat perahu layar. Perahu Phinisi Nusantara dalam pelayaran ekspedisi Jakarta-Vancouver (Kanada) menempuh jarak 11.000 mil laut menyeberangi Samudra Pasifik, menunjukkan ketangguhan menyebrangi Samudra Pasifik, menunjukkan ketangguhan bangunan perahu tersebut dengan sistem teknologi yang di warisinya sejak dahulukala.
Memang bangsa ini adalah bangsa bahari yang telah disimbolisasikan dalam naskah dalam cerita Sawerigading. Ketangguhan awaknya bersama ketangguhan teknologi perahu, menyatu dengan alam dalam pelayaran dan terbukti tanggal 15 September 1986 (dini hari waktu Indonesia) Phinisi Nusantara selamat bersandar di dermaga Marine Plaza, Vancouver.
La Pananrang, kakak sepupu Sawerigading yang menyertainya dalam pelayaran, adalah seorang ahli perbintangan. Ia mengetahui nama-nama bintang di langit sebagai pedoman untuk menentukan arah dan tujuan perahu. Tanda-tanda di laut untuk datangnya topan dan adanya batu karang di haluan. Begitupula tentang hari baik dan hari buruk untuk memulai pelayaran atau untuk mengadakan perang. Sistem pengetahuan astronomi dan oceanologi seperti ini, tetap dipelihara dan dijalankan oleh masyarakat Bugis, terutama mereka yang melakukan pekerjaan sebagai Pasompe (pelaut-pedagang dan nelayan).
E. PENUTUP
Naskah La Galigo dan lebih khusus naskah episode Sawerigading, ditinjau dari segi pencerminan masyarakat dan budaya masyarakat Bugis, skenario cerita memng tergambar sifat-sifat asli orang Bugis, sistem kekerabatanya, sistem perkawinannya, lapisan sosial dan pandangan kosmogoninya. Sistem kepercayaan yang terlukis dalam cerita, berada pada stadia berpikir kedewaan, tanpa adanya tanda-tanda pengaruh agama-agama prophetis.
Peranan skenario cerita dari keseluruhan tokoh-tokoh naskah La Galigo, Sawerigading diangkat sebagai pusat tempat berbesarnya semua cerita yang menampilkan wujud kebudayaan dan isi (struktur) kebudayaan masyarakat Bugis. Karakter dan watak seorang pria, terutama di kalangan elit sosial, tergambar pada perilaku dan kepribadian Sawerigading, sebagai seorang Raja muda dan Duta Keliling dan seorang pengembara di lautan. Ia berupaya bermitra dengan kerajaan tetangganya sebagi usaha konsolidasi yang bertujuan membesarkan Kerajaan LUWU.
Sebelumnya.... Sawerigading Pahlawan Budaya
Prof. Abu Hamid, Universitas Hasanuddin, Makassar, disampaikan pada acara Festival dan Seminar Internasional La Galigo di Masamba, Sulawesi Selatan, 10-14 Desember 2003.
-----
DAFTAR PUSTAKA
Berger, Peter L (et.Al), 1984. Cultural Analysis. London: Routledge & Kegan Paul.
Charon, Joel M, 1979. Symbolic Interactionism. U.S.A: Printice-Hall, Inc., Englewoot Cliffs
Dananjaya, James,1985. Folklore Indonesia. Jakarta: Grafiti.
Geeltz, C, 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, Inc., Publisherz.
Graag, H. J. De, 1949. Geschiedenis Van Indonesia. Bandung: Gravehage.
Hadisuwarno, Sularto, 1986. Konstruksi Perahu Layar Tradisional (Phinisi) Dalam Rangka Meningkatkan Keselamatan. UNHAS: Ujung Pandang
Pelras, Chritia, 1987. The Bugis, Cambridge, Masschusetts: Blackwell Pub. Inc.,
Soekmono, R, 1993. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Scharer, H, 1946. Die Gottesidee Der Ngadju In Sud-Borneo. Leiden: E. J. Brill.
Tobing, Ph. O. L, 197. Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa. Cet. II Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.