Prof. Dr. A. Rasyid Asba |
ARUNGSEJARAH.COM - Pelayaran Sawerigading (Perekat Integrasi Nusantara) Bagian III.
III
Sawerigading seorang pelaut yang ulung. Keteguhan hatinya mampu menggiring dia pada kepekaan mengatasi semua kesulitan di laut. Ia memimpin rombongan perahu yang terbuat dari sebatang pohon dengan keterampilan mengarungi laut. Kecerdasan dan ketangkasan yang luar biasa membuat Sawerigading disegani di setiap tempat. Musuhnya di laut ditaklukkan satu persatu.
Bila musuhnya menggunakan kesaktian, yakni melayang di atas permukaan laut, ia menantangnya. Karena ia dianggap raja laut maka semua aktivitasnya menceritakan tentang kehebatannya menguasai laut. Tidak heran jika pembuat perahu di Ara mengungkapkan bahwa kemahiran dalam pembuatan alat di laut di daerah itu, bersumber dari perahu Sawerigading.
Ketika itu Sawerigading menyeberang ke Pulau Selayar, rombongannya diserang badai, angin, dan lebih berbahaya, ialah kala-kala Tanjung Bira, yakni pusaran air laut akibat pertemuan arus bercampur ombak. Perahu rombongan porak poranda, pecah berkeping-keping, kemudian terdampar di pantai Ara, Bulukumba.
Kerusakan perahu Sawerigading, menyebabkan rombongan harus tinggal beberapa hari lamanya. Bersama Orang Ara, Sawerigading memperbaiki perahu, menyambung kembali papan yang telah terlepas satu dari yang lainnya, hingga utuh kembali menjadi perahu. Kemahiran yang diwarisi orang Ara, dikembangkan hingga sekarang.
Sawerigading, dalam konteks peranannya sebagai tokoh, sebagai pelaut dan sekaligus raja laut, merupakan pencerminan langsung dari semangat bahari manusia Sulawesi yang berjaya di lautan selama berabad-abad. Itulah sebabnya, hingga sekarang etos kebaharian masyarakat Sulawesi Selatan merupakan ciri budaya yang paling menonjol dan dikenal.
Kekaguman orang luar termasuk bangsa Belanda dan Inggris memberikan penilaian tersendiri terhadap jiwa dan semangat manusia Sulawesi Selatan di lautan. Prestasi yang telah dicapai Sawerigading dalam petualangan di lautan yang bukti-buktinya terdapat dalam sumber tradisional di semenanjung dan peninggalan cerita rakyat di kawasan lain, telah mengangkat martabat manusia Sulawesi sebagai penguasa di lautan.
Dalam epos Galigo Sawerigading juga telah mengunjungi berbagi daerah, seperti Taranati, Maloku, Kelling, Gima. Raja negeri-negeri tersebut juga pernah mengunjungi daerah Luwuq ketika Sawerigading naik istana di Wareq. Selain itu, Epos Galigo juga menceritakan kekalahan Malaka, Manccapiq, dan Ulio, ketika rajanya dikalahkan setelah perang berbulan-bulan di laut oleh Sawerigading dalam pelayarannya ke Cina. Patani dan Demmaq hanya diceritakan bahwa Sawerigading melihat pedagang dari negeri itu sedang transit di bandar Matasoloq, yang kemudian seterusnya meneruskan pelayarannya ke Maloku.
Gambaran tentang Taranati, Gima dan Maloku, jelas tidak seluruhnya merupakan rekaan, sebab jika seperti itu halnya, untuk apa mereka menyebut tempat tersebut sama halnya jika Kitab Negarakartagama (1365) yang menyebutkan nama-nama tempat, seperti Bantayang, Makassar, Selaya, Butun, Banggawi, Wolio dan Luwuq[1].
Letaknya pun menyakinkan, bahwa yang ditunjuk itu adalah tempat yang sebenarnya, meskipun tidak pula seluruhnya tepat. Diceritakan pula bahwa raja Taranati dan Gima masing-masing adalah sepupu We Nyiliq Timo dan Batara Guru, sedangkan penguasa di Maloku menganggap Sawerigading sebagai anaknya. Mereka berlaku tidak hanya sebagai keluarga, melainkan juga sebagai sahabat yang hormat dan setia mengiringi Sawerigading dalam perantauan dan mengantarnya pulang.
Keadaan pada tempat itu tidak memberi kesan adanya pengaruh Islam, bahkan kunjungan Sawerigading ke Maloku adalah untuk menghadiri upacara pencacahan La Maddaremmeng, suatu upacara yang tidak dikenal di kalangan umat Islam. Jelaslah bahwa suasana yang digambarkan itu adalah suasana pra Islam, sekitar abad ke-14, sebab pada pertengahan abad ke 15 agama Islam telah berpengaruh di wilayah itu.
Dugaan ini kian terasa kuat, jika ia dihubungakan dengan nama Malaka dan Majapahit yang juga disebut-sebut pada zaman itu merupakan zaman kejayaan kedua kerajaan tersebut, yang tentu diketahui pula oleh penulis Galigo. Demikian pula dengan penyebutan Demmaq masih sebagai pedagang dan bukan sebagai penguasa yang patut diperhitungkan, sebab kebesarannya baru sesudah Majapahit. Jelas pula ketidakmungkinannya lebih awal lagi, karena Majapahit baru ada pada pengujung abad ke-13 (1294) sehingga seandainya sebelum itu Galigo dikarang, tentulah Singasari atau Kediri dan Sriwijaya yang akan disebut, sebab keduanyalah merupakan kerajaan yang kuat pada waktu itu.
Bersambung.... Pelayaran Sawerigading (Perekat Integrasi Nusantara) Bagian IV
Sebelumnya.... Pelayaran Sawerigading (Perekat Integrasi Nusantara) Bagian II
[1] Dalam Negarakartagama diperoleh keterangan bahwa pada masa Gajah Mada diangkat sebagai Pati Mangkubumi (1331-1364) menggatikan Arya Tadah, kerajaan itu mulai melakukan ekspedisi untuk menguasai wilayah Nusantara . Untuk lebih jelasnya lihat Muhammad Yamin, Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara ( P.N. Balai Pustaka, 1986, hal, 60-63).