Prof. Dr. A. Rasyid Asba |
ARUNGSEJARAH.COM - Pelayaran Sawerigading (Perekat Integrasi Nusantara) Bagian III.
II
Cerita Sawerigading sangat penting untuk dipahami karena ia tidak hanya dimengerti melalui naskah yang ada dalam epos Galigo. Tetapi telah memasuki relung kehidupan manusia Bugis Makassar yang paling dalam berupa legitimasi Ideologi. Hal itu dibuktikan dengan munculnya berbagai pemahaman sinkritisme antara ajaran Sawerigading dengan ajaran Islam. Pada suatu hari Nabi Muhammad SAW datang berkunjung ke Tanah Bugis untuk memenuhi undangan Sawerigading Opunna Ware. Di satu tempat bernama kampung Padang Loang, di Sawitto, mereka sepakat bertemu untuk memperdebatkan jalan keselamatan yang terbaik untuk ummat manusia.
Konon, setelah perdebatan itu menjelang tujuh hari, tujuh malam, belum juga tercapai sebuah kesepakatan, masalahnya karena keduanya merasa bahwa rumusannyalah yang terbaik, di satu pihak ajaran Muhammad, dipihak lain tuntunan hidup Sawerigading. Karena keduanya merasa yang terbaik, pada hari ketujuh pertemuan itu sepakat diakhiri saja, kemudian keduanya bersalaman. Ketika akan berpeisah Nabi Muhammad berkata: Baiklah daku berjalan meninggalkan tempat ini, dengan berjalan ke arah Barat, mudah-mudahan manusia yang mencari kedamaian di akhirat mengikuti jejakku, dan Sawerigading pun berkata; Kalau demikian daku berjalan meninggalkan tempat ini ke arah timur mudah-mudahan manusia yang mencari kenikmatan dunia mengikuti jejakku.
Di daerah Padang Loang, setiap tahun, banyak penganut budaya spritual Bugis dari berbagai pelosok daerah melakukan upacara tahunan memperingati pertemuan antara Sawerigading dan Nabi Muhammad S.A.W. Di tempat tersebut upacara dilakukan di atas sebuah batu besar yang disebut batu moppang (batu tengkurap). Berdasarkan cerita rakyat, batu tersebut merupakan batu bekas perahu Sawerigading yang disengaja dibalik dan ditenggelamkan oleh pemiliknya agar menjadi tanda bagi orang dikemudian hari, agar mereka yang mau mengejar kedamaian, datang berupaya dan membuka usaha di tempat itu, demikian juga bagi mereka yang mau mengejar kesenangan dunia datang ke tempat itu bernazar. Karena itu tidak mengherankan jika batu moppang ramai dikunjungi orang untuk mencetuskan berbagai angan-angan dan harapan-harapan keduniaan.
Pandangan serupa juga ditemukan pada gunung batu di daerah Bambapuang (Enrekang) yang dari jauh tampak sebagai anjungan perahu, dianggap perahu Sawerigading yang karam dan telah menjadi batu. Begitupula nekara besar yang terdapat di Bontobangung (Selayar) ada pula yang menganggapnya gong Sawerigading yang selalu dibawanya berlayar dan dibunyikan setiap ia hendak memasuki suatu pelabuhan. Demikian pula dengan kepingan perahu yang terdapat di Bontote’ne, juga dianggap perahu Sawerigading. Juga terdapat ceritera di kalangan orang Ara (Bulukumba), yang menganggap bahwa keahlian mereka membuat perahu diperoleh nenek moyang mereka dari hasil rekonstruksi kepingan perahu Sawerigading yang pernah terdampar di daerah tersebut. Begitu pula di tepi pantai Ujung Rangas, kurang lebih 4 km sebelah utara kota Majene, terdapat sebuah batu dengan tanda yang menyerupai bekas kaki kiri. Ceritera rakyat setempat menyatakannya sebagai bekas kaki Sawerigading bersetumpu ketika ia hendak ke langit menemui neneknya, yaitu Dewa Patotoé.
Bagi orang yang pernah membaca epos Galigo, akan mendapatkan banyak informasi tentang mite Sawarigading. Disebut dalam Surek Galigo, atau Mite La Galigo bahwa Patotoé atau Yang Maha Pencipta, yang berdiam di Botinglangi, telah mengutus putranya yang bernama Batara Guru untuk turun ke dunia. Setelah tiba di dunia Batara Guru kawin dengan putri dari Pérétiwi atau dunia bawah, yang bernama We Nyiliq Timo. Dari perkawinan ini telah lahir Batara Lattu. Kemudian Batara Lattu, setelah dewasa kawin dengan Opu Sengngeng. Dari perkawinan ini lahirlah dua anak kembar berlainan jenis. Yang putra diberi nama Sawerigading, sedangkan yang putri We Tenriabeng. Sebagaimana adat kebiasaan kaum bangsawan untuk kelahiran anak-anak mereka, telah diadakan upacara oleh orang tuanya. Namun upacara tersebut, Batara Lattu dan permaisurinya raib, naik ke Botinglangi atau puncak langit. Kejadian ini menggemparkan penduduk kerajaan. Setelah reda keadaan, para pembesar kerajaan Luwuq bersepakat untuk memelihara kedua keturunan Batara Lattu, namun dengan jalan memisahkan mereka, demikianlah sehingga Wa Tenriabeng dibuatkan mahligai, yang letaknya jauh dari tempat pemeliharaan Sawerigading.
Sebenarnya yang lebih menarik dari cerita rakyat Sawitto ini, tentu saja bukan jalan ceritanya, tetapi makna yang terkandung di dalamnya. Sering kali cerita rakyat terlepas dari bingkai kronologi dan babakan waktu yang tepat, seperti cerita rakyat Sawitto ini, namun demikian cerita rakyat, folklore atau legenda penting artinya dalam makna, karena makna tidak berada dalam ruang waktu. Kehadiran Epos Galigo, Kakawin Kartagama tumbuh dan besar karena dibesarkan oleh mitos. Selain itu penting dipahami karena biasanya mitos yang dituangkan dalam cerita rakyat sebenarnya mengandung misteri sosial, karena itu mitos tidak sembarang diceritakan dan tanpa arti. Bagaimanapun juga mitos, cerita rakyat, Legenda pasti mengandung sesuatu pesan yang tersirat di dalamnya.
Misalnya, cerita; “Ketika Nabi Muhammad SAW bergegas kembali ke Mekkah, setelah bertemu dengan Sawerigading Opunna Ware di Sawitto dengan tidak sengaja, beberapa halaman al-Qur’an yang terdiri dari satu surat tertinggal. Karena itulah jumlah surat yang ada di dalamnya (al-Qur’an) sekarang hanya 114 surat, yang seharusnya 115 surat. Lembaran-lembaran al-Qur’an yang tertinggal itulah sekarang bernama Lontara Purakani, kitab suci para penganut kepercayaan budaya spiritual To Wani To Lotang di Amaparita Kabupaten Sidenreng Rappang. Mereka percaya bahwa Lontara Purakani adalah intisari dari keseluruhan surat-surat yang ada pada al-Qur’an sekarang.”
Berbagai paham kepercayaan besar yang tumbuh di dunia secara perlahan-lahan berkembang, kemudian akan tumbuh melampau ruang seperti apa adanya. Ajaran itu merupakan penjabaran dari satu ajaran yang berangsur-angsur bergeser melampaui masa dan bersentuhan dengan nuansa lokal dan budaya spiritual. Ajaran yang berkembang di Sidenreng dan Sawitto, salah satu kasus yang dikemukakan di sini pada akhirnya terbagi menjadi dua sekte, yaitu pertama., To Lotang Benteng dan kedua To Wani To Lotang.
Yang pertama mempercayai Sawerigading sebagai Nabi, tokoh inilah yang mengizinkan pengikutnya menggunakan Lontara Purukani sebagai kitab suci. Sebaliknya penganut “Sekte To Wani To Lotang” tidak mengakui Sawerigading dan meninggalkan ritus molalaleng. Mereka hanya mengakui La Panaungi, manusia pilihan dewata yang diturunkan ke dunia menggantikan Sawerigading. Jadi La Panaungi, menurut mereka, tidak ada hubungannya secara geneologis dengan Sawerigading, karena manusia dan ajaran penggantinya sudah hidup di masa La Panaungi. Ajaran ini dapat dianggap sebagai konsep sinkritisme dalam spiritual Bugis To Lotang di pedalaman Bugis, atau setidak-tidaknya mempertahankan unsur-unsur senkritisme antara Hinduisme dan Bugisnisme. Sedang yang keduanya (To Wani To Lotang) sudah mengadaptasi ketiganya, yaitu Hindisme-Bugisme dan Islam.[1]
Beberapa tahun setelah kunjungan Nabi Muhammad SAW, ke Sawitto, Sawerigading Opunna Ware berkesempatan berkunjung ke Mekkah memenuhi undangan Nabi Muhammad SAW. Di Mekkah, kedua tokoh itu kembali melanjutkan perdebatannya tentang jalan terbaik untuk keselamatan ummat manusia. Namun sekali lagi hasilnya berimbang, tak ada yang kalah dan tak ada yang menang. Ketika akan meninggalkan Mekkah, Sawerigading Opunna Ware menggoreskan telunjuknya di salah satu dinding Ka’bah sebagai tanda atas kunjungan ke Tanah Suci.
Mitos perjalanan kunjungan Sawerigading ke Mekkah, tentulah bukan sekedar cerita, sebagaimana layaknya Sahibul Hikayat Pelipurlara. Mitos perjalanan/kunjungan ini adalah legitimasi sosial masyarakat Bugis, bahwa angin sikritisme telah menghembus ke pedalaman negeri Bugis. Melalui tokoh-tokoh perantara yang kita sebut lokal genius, ajaran Islam telah menjadi bahagian dari budaya spiritual lokal di pedalaman Sulawesi. Itulah sebabnya banyak dari orang-orang Bugis penganut kepercayaan budaya spiritual Bugis berkunjung ke Mekkah dengan dua kepentingan. Pertama, berminat menunaikan rukun Islam yang kelima, dan kedua ia merindukan melihat dan menjamah bekas goresan telunjuk Sawerigading Opunna Ware di sudut dinding Ka’bah. Keduanya sama nilai dalam takaran batiniah.
Kalau kita tangkap makna cerita yang dikandung dialog antara Sawerigading dengan Muhammad, maka kita temukan ajaran toleransi, toleransi Sawerigading menghargai ajaran Islam, begitupula toleransi Muhammad menghargai ajaran Sawerigading. Bahkan mereka sama-sama mengembangkan ajaran yang keduanya dianggap kebaikan Sehingga kalau ini disadari, maka konflik yang masih berkelanjutan sekarang bisa kita atasi dengan konsep saling menghargai, seperti makna yang terkandung antara dialog Muhmamad dengan Sawerigading. Meskipun sebuah mitos, namun seperti kita katakan bahwa nusantara ini ada juga karena dibentuk dari “mitos”.
Di kalangan masyarakat Palu berkembang mitos yang menganggap gunung Kavole di daerah Balaroa adalah perahu Sawerigading yang tertelungkup dan telah menjadi tanah. Di daerah Parigi ada pula sebuah tempat yang disebut tanah Bangkalaq; kuning warnanya, bersih tidak ditumbuhi sesuatu apa pun. Di dekatnya tumbuh sebatang pohon asam. Menurut ceritera masyarakat, di tempat itu Sawerigading pernah mengadakan sabung ayam. Cerita-cerita seperti itu tidak hanya terdapat di wilayah kekuasaan Luwuq atau daerah yang berbahasa Bugis saja. Hal demikian dapat diartikan, bahwa Luwuq adalah suatu kerajaan besar, makmur, disegani atau menduduki tempat yang teristimewa dalam meletakkan dasar-dasar peradaban manusia, bahkan mungkin juga diakui kekuasaannya oleh beberapa daerah yang ada di luar peradabannya. Ceritera Galigo rupanya tidak mungkin tersebar luas, seandainya Luwuq merupakan kerajaan kecil, tidak mempunyai posisi tawar menawar terhadap kerajaan lain.
Bersambung.... Pelayaran Sawerigading (Perekat Integrasi Nusantara) Bagian III
Sebelumnya.... Pelayaran Sawerigading (Perekat Integrasi Nusantara) Bagian I
[1] Cerita tersebut banyak berkembang di dalam Masyarakat To Wani To Lotang di Rappang, juga terdapat dalam naskah-naskah Rappang Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Lihat juga Mukhlis PaEni, Ibid. Hal, 58-59.