Prof. Dr. A. Rasyid Asba |
ARUNGSEJARAH.COM - Pelayaran Sawerigading (Perekat Integrasi Nusantara) Bagian I.
Pelayaran Sawerigading (Perekat Integrasi Nusantara)[1]
Bagi orang yang memahami Epos Galigo, tokoh Sawerigading dapat dianggap sebagai peletak dasar terbentuknya Nusantara. Ini berarti pemahaman kita tentang cikal bakal Nusantara turut bertambah pula, bukan hanya ditemukan dalam Kakawin Negarakartagama yang hingga kini dijadikan legitimasi dasar-dasar terbentuknya “nation” yaitu, Indonesia modern. Pemahaman Sawerigading sebagai tokoh pemersatu juga banyak membicarakan masalah kemasyarakatan seperti yang dimuat dalam epos Galigo.
Konsep integrasi yang merupakan perekat utama “nation” kita bisa temukan dalam cerita pengembaraan Sawerigading dalam mengarungi lautan. Begitu pula menyangkut masalah kemasyarakatan, mengatasi/mengendalikan konflik, toleransi antara penganut agama. Cerita Sawerigading yang digolongkan sebagai cerita rakyat Nusantara, bukan hanya ditemukan di plataran Pulau Sulawesi khususnya tanah Luwuq, tetapi Ia telah melintasi pulau-pulau, bahkan luar Nusantara (tanah Melayu). Ia merupakan sebagai alat perekat integrasi, bukan saja dalam artian geografi tetapi juga ajaran-ajaran sosial kemasyarakatannya melalui karya sastra dunia yaitu Galigo.
Tulisan ini akan membuka benang merah makna konsep integrasi pada cerita Sawerigading yang hampir kita temukan di setiap tempat, bukan saja di Pulau Sulawesi, tapi juga di luar Sulawesi, baik berupa wacana cerita rakyat maupun bukti-bukti peninggalan budaya materialnya.
I
Sawerigading sebagai salah satu cerita rakyat Nusantara memang hampir semua ditemukan di berbagai wilayah Indonesia bagian timur. Di daerah Semenanjung juga munculnya versi Sawerigading .[2] Sama halnya pada kelompok-kelompok etnik di Sulawesi, di mana Sawerigading telah merupakan bagian integral dalam kehidupan budaya dari masyarakatnya. Di Tanah Toraja cerita Sawerigading dianggap sebagai peletak dasar terbentuknya tatanam politik tradisional. Anggapan ini ternyata bukan hanya ada di Tanah Toraja, tetapi juga terdapat dalam mitologi politik suku-suku, lain seperti munculnya Lakipadada memperistrikan Tomanurungga ri Gowa yang menurut cerita rakyat berasal dari Tanah Toraja.
Cerita tersebut sulit diterima bagi orang Gowa jika tidak dijelaskan bahwa Lakipadada itu adalah keturunan Sawerigading. Artinya hampir saya bisa katakan bahwa jika kita tidak menyebut nama Sawerigading sebagai payung terbentuknya kerajaan-kerajaan tradisional di Sulawesi Selatan, maka Sulawesi Selatan akan dilanda oleh konflik yang maha dahyat. Karena itu, dapat dikatakan cerita rakyat Sawerigading mampu mengintegrasikan etnis suku yang ada di Sulawesi Selatan bahkan suku-suku lainnya yang ada di luar Sulawesi Selatan.
Cerita Sawerigading[3] yang kita temukan di berbagai tempat di Nusantara, khususnya di plataran Sulawesi memang dapat digolongkan sebagai cerita rakyat. Menurut William Bascom cerita rakyat dapat dibagi tiga golongan besar: Mite (myte), Legenda (Legend) dan Dongeng (Folktale)[4]. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa mite adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar pernah terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Cerita ini dipengaruhi oleh para dewa dan mahluk-mahluk gaib, terjadinya di tempat yang bukan di dunia. Keadaan dunianya adalah dari masa sebelum berbentuk seperti sekarang ini. Dan masa terjadinya sudah jauh lampau sekali.
Legenda mirip dengan dengan mite, yakni suatu cerita yang benar-benar pernah terjadi, namun pada umumnya tidak dianggap suci. Legenda ditokohi oleh manusia, tetapi yang mempunyai sifat-sifat luar biasa. Terjadinya di dunia ini, dan masa terjadinya belum terlampau lama. Sedangkan dongeng adalah tidak dianggap benar-benar terjadi alias fiktif. Dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat.[5]
Sudah tentu pembagian cerita rakyat ke dalam tiga kategori besar itu, hanya berupa tipe ideal (ideal types) saja, karena dalam kenyataan ada banyak cerita, yang dapat digolongkan ke dalam lebih dari satu kategori. Akibatnya sukar digolongkan ke dalam salah satu kategori saja. Walaupun demikian sebagai alat penganalisaan, penggolongan ini tetap penting sekali. Jika ada suatu cerita sekaligus mempunyai ciri-ciri mite dan legenda, maka kita harus mempertimbangkan ciri mana yang lebih tepat. Jika ciri mite lebih tepat, maka kita golongkannya ke dalam mite. Demikian pula sebaiknya, jika yang lebih tepat adalah ciri legendanya, maka cerita itu harus digolongkan ke dalam legenda.
Dalam kenyataannya, banyak cerita rakyat Sawerigading ada yang sama atau sedikitnya mirip satu sama lain. Untuk menerangkan mengapa adanya fenomena tersebut dan berbagai teori yang mendukungnya, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua yakni monogenesis dan poligenesis. Yang pertama berarti “asalnya satu”, seperti banyak versi menyebutnya berasal dari Tanah Luwuq, berkat proses difusi penyebarannya tersebar ke tempat-tempat lain. Sedangkan yang kedua adalah “asalnya lebih dari satu”, yang diakibatkan penemuan-penemuan yang sendiri (independen invention) atau hampir sama (parallel invention) dari motif-motif cerita yang sama, di tempat-tempat yang berlainan, serta dalam masa yang berlainan maupun bersamaan. Hal itu dapat dikaji jika melihat munculnya berbagai versi cerita Sawerigading[6]
Teori-teori yang tergolong monogenesis adalah seperti teori yang dikembangkan oleh Jacob dan Wilhelm Grimn, teori mitologi matahari dari Max Muller dan Teori Indianist Theodore Benfey. Menurut aliran teori tersebut berpandangan bahwa semua cerita rakyat yang berbentuk prosa berasal dari India. Teori-teori yang tergolong poligenesis adalah seperti teori survival (bertahan hidup) atau peninggalan yang dapat bertahan hidup terus dalam suatu kebudayaan, dari English Anthropologist, terutama untuk menghancurkan Teori Solar Mythology, Max Muller, yang dianggap fantastik.
Teori lainnya yang juga tergolong poligenesis adalah teori psikoanalisa dari Sigmund Freud, Carl Yung dan lain-lain. Menurut aliran ini persamaan mite-mite di berbagai tempat bukan disebabkan oleh difusi, melainkan disebabkan oleh penemuan-penemuan yang berdiri sendiri. Mite-mite itu dapat mirip satu sama lain karena adanya yang disebut oleh Carl Yung sebagai kesadaran bersama yang terpendam (collective unconcious) pada setiap manusia[7]. Kesadaran bersama yang muncul itu berupa keinginan untuk bersetubuh, kembali ke dalam rahim dan keinginan untuk dilahirkan kembali.
Mite-suku-suku bangsa Nusantara, banyak juga dipengaruhi oleh agama besar. Misalnya ada juga cerita yang mengisahkan bahwa Nabi Muhammad pernah bertemu dengan Sawerigading. Kisah tersebut telah menjadi perdebatan utama untuk penganut kepercayaan spiritual bagi pengikut kepercayaan Towani Tolotang di Sidenreng.
Perdebatan itu berkisar pada penafsiran atas kisah “Ta’Giling na Simpatie”. Hal ini sangat menarik karena tampaknya Towani Tolotang percaya bahwa Ta’giling na Simpatie yang ditafsirkan bahwa selepas kepergian Sawerigading akan muncul seorang tokoh spiritual yang bernama Mohammad dan kepada orang Bugis diminta untuk berdamai dengan ajaran yang dibawanya yaitu dengan mendamaikan ajaran spiritual Bugis yang disebut melalaleng dengan ajaran Mohammad, syariat Islam.
Bagi ajaran Towani, Ta’gilingna Simpatie diartikan sebagai perombakan masyarakat secara menyeluruh. Era Sawerigading sudah lepas dan era baru sudah tumbuh. Dalam era yang baru itu seorang tokoh spiritual akan muncul. Ia sama sekali tidak ada hubungannya secara geneologis maupun dalam ajaran spiritual dengan pendahulunya. Karena itu mereka tidak mentolelir Islam dalam konsep kepercayaan mereka. Tokoh utama bagi ajaran ini bernama La Panaungi. Namun demikian, apakah nama ini adalah nama yang sesungguhnya atau hanya sebutan atas sang tokoh dalam arti sang pelindung memang masih memerlukan banyak renungan. Pada paragraf akhir Epos La Galigo yang mengisahkan tenggelamnya Welenreng, tampaknya sinkritisme Islam mulai masuk dalam tatanan masyarakat yang sekarang berkembang[8].
Bersambung.... Pelayaran Sawerigading (Perekat Integrasi Nusantara) Bagian II
[1] Makalah ini disampaikan dalam Festival Galigo dan Seminar Internasional Sawerigading di Masamba Kab. Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
[2] Di tanah Melayu, misalnya, cerita Sawerigading telah menjadi kenangan. Ia membuka lembaran sejarah tradisi politik tradisional masa lalunya. Sawerigading dianggap sebagai tokoh yang menurunkan keturunan dari kelompok “ The Rulingclass” di Semenanjung. Uraian lebih lanjut mengenai masalah itu dapat dilihat dalam Makalah Hamid Abdullah. Sawerigading sebagai tokoh Sentral dalam Kebudayaan Masyarakat Sulawesi, dalam Mattulada, dkk, “Sawerigading Folktale Sulawesi”. Dep. P&K Direktorat Jenderal Kebudayaan “Proyek Penelitian dan Kebudayaan Nusantara.” 1990, hal, 361-362.
[3] Mengenai asal usul baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, mirip benar dengan silsilah raja-raja atau kaum bangsawan Bugis, yang biasanya dikenal dengan nama lontaraq panguriseng. Sebagai contoh dapat disebutkan di sini, bahwa dengan membaca episode-episode bersangkutan, dapat disusun pohon keturunan Sawerigading dan We Cudai. Mattulada, misalnya, membagi perkembangan pola kepemimpinan di kalangan orang Bugis dalam tiga periode, yaitu periode Galigo, periode Anang, dan periode Lontaraq. Pada tempat lain diakuinya pula, bahwa Galigo adalah kumpulan mitologi besar yang oleh banyak orang Bugis dipandang keramat. Demikian pula halnya dengan Mills yang pada satu pihak membagi perkembangan sejarah orang Bugis dalam dua periode, yaitu periode Galigo dan periode Lontaraq. Pada pihak yang lain dinyatakannya pula, bahwa yang menciptakan Galigo adalah dinasti yang memerintah, dengan tujuan memperoleh legitimasi magis-religius, yang menurut dugaannya mengambil kronik Jawa sebagai model. Salah satu perkiraan yang ada, ialah Galigo itu berasal dari zaman sebelum agama Islam menjadi panutan rakyat banyak di Sulawesi Selatan, yaitu sebelum tahun 1600, seperti dikemukakan oleh Kern. Alasannya ialah di dalamnya tidak ditemukan pengaruh atau ajaran Agama Islam. Pendapat tersebut hanya menyatakan batas perkiraan dengan rentang waktu yang sangat panjang, bahkan dapat dikatakan tidak berujung. Hanya disebutkan yang tidak ditemui di dalam Galigo, dan tidak ditunjukkan apa dan bagaimana yang ada. Pendapat yang lain berasal dari F.F. Mills yang memperkirakan waktu penulisan Galigo pada awal abad ke-14. Dasar perhitungannya ialah peristiwa-peristiwa yang ada dalam berbagai kronik dapat ditetapkan kejadiaanya pada pertengahan abad ke –15 atau akhir abad ke-14. Karena kronik itu sendiri menunjuk Galigo sebagai pendahulunya dan menyatakan bahwa sesudah keturunan Galigo habis naik ke langit, maka terjadilah kekacauan selama tujuh pariama. Setelah itulah peristiwa dalam kronik bermula. Kalau satu pariama tujuh atau delapan tahun, maka menurut Mills sangat masuk akal jika Galigo itu ditulis pada awal abad ke-14.
[4] William, Bascom. “Four Functions of Folklore”, “The Study of Folklore” ( Alan Dundes,ed.) Englewood Cliffa. N.J.: Prentice Hall, Inc, hal, 24-33
[5] C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, Jakarta: Kanisius, 1988, hal,34-54
[6] Berbagai penulis mencoba menafsirkan cerita Sawerigading, misalnya Friedericy menyebutnya mitos yang antra lain melambangkan sistem perkawinan masyarakat Bugis. Kern menyebutnya mitologi yang bersifat roman keluarga dan merupakan prasejarah orang Bugis. Mills menganggapnya sebagai kompilasi legenda setempat yang diilhami oleh kronik Jawa. A. Zainal Abidin Farid menyatakan bahwa orang Wajo pada umumnya memandang Galigo hanya sebagai Sastra kuno yang disucikan dan bukan sejarah. Untuk lebih jelasnya H.J.Friedericy “ De standen bij de Boegieezen”, dalam BKI. 90, hal, 589; R.A. Kern, I La Galigo, Catalogus den Boegineesche tot den I La Galigo-Cyclus behoorende handschriften, Legatum Warnerianum, leiden: 1938, hal,5; A. Zainal Abidin Farid, Sejarah Hukum Adat Kerajaan Wajo Abad ke XV- XVI,Kopertis Wilayah VII, 1972, hal, 12
[7] Unconcious adalah keseluruhan pikiran dorongan hati (imlupse). Keinginan (desire) perasaan dan tindakan yang tidak disadari oleh individu, namun mempengaruhi prilaku mereka. (Webster New World Dictionary, 1959,1554.
[8] Mukhlis Paeni, Pelayaran Sawerigading, Suatu Tinjauaan Metahistoris Bugis, dalam Sawerigading Sebagai Tokoh Sentral dalam Kebudayaan Masyarakat Sulawesi, dalam Mattulada dkk, “Sawerigading Folktale Sulawesi”. Dep. P&K Direktorat Jenderal Kebudayaan “Proyek Penelitian dan Kebudayaan Nusantara. 1990, hal, 55-56.