Prof. Fachruddin AE |
ARUNGSEJARAH.COM - Tahapan Pelaksanaan Perkawinan Sawerigading Sebagai Model Tahapan Perkawinan Suku Bugis.
Mungkinkah mereka mencontoh atau mengambil dari kebiasaan daerah atau suku lain ataukah diciptakan sendiri oleh leluhur mereka, seperti yang dapat dilihat dalam Sureq Galigo.
Secara alamiah sesuatu kejadian tentu mempunyai awal, inti dan akhir atau penutup. Dalam hal upacara adat perkawinan orang bugis, tahapannya ialah:
1. Mappeséq-peséq, yang secara harfiah berarti meraba-raba. Peristiwa ini biasanya bermula pada saat orang tua melihat atau menganggap sudah saatnya anaknya berumah tangga dan menanyakan, apakah anaknya itu sudah siap untuk dinikahkan. Jika sudah, apakah ia sudah mempunyai calon istri. Kalau belum, dicarikan bersama-sama di mana ada gadis/wanita yang pantas untuk diperistrikan. Dari sekian banyak yang ditemukan, dipililah yang dianggap paling tepat atau paling sesuai dengan pendapat mereka dan diperkirakan mau menerima, bila ia dilamar.
Pada diri Sawerigading, peristiwa ini terjadi ketika ia mendesak orang tuanya memberikan sesuatu yang sangat berharga dan diduga sangat ketat, menyebabkan mereka heran (pura-pura) tak kuasa menerka keinginan putra kesangannya itu.
2. Mammanuq-manuq, yang arti harfiahnya ialah menggunakan jasa burung. Sebagai istilah kata ini berarti pihak lelaki mengirim utusan secara diam-diam untuk mengetahui dengan jelas keadaan fisik maupun lingkungan wanita yang hendak dilamar. Juga kira-kira kesediaan dan kemungkinan penerimaannya bila dilamar kelak. Dengan demikian licin dan amanlah jalan yang akan ditempuh.
Hal seperti yang dikemukakan di atas terdapat pada cerita Galigo yakni ketika Sawerigading sampai di pelabuhan Cina. Dilepaskannya burung-burungnya langsung terbang menuju istana I We Cudaiq, untuk menyaksikan dari dekat keadaan putri Cina itu. Dari peristiwa inilah kemudian muncul penggunaan istilah mammanuq-manuq, meskipun yang diutus bukan lagi burung. Namun demikian ia tetap harus berlaku tidak mencurigakan, sehingga ia leluasa melaksanakan tugas yang dibebankan padanya tampa rintangan.
3. Maqduta, yang berarti melamar atau meminang yaitu atas nama seorang pria yang meminta seorang gadis/wanita untuk menjadi istri. Guna mencegah timbulnya hal yang dapat mengakibatkan pihak lelaki memperoleh malu karena lamarannya ditolak, maka acar peminangan ini biasa dibagai menjadi dua tahap. Tahap pertama disebut duta massoqbu, yaitu lamaran yang hanya dihadiri oleh keluarga dekat yang terbatas jumlahnya. Lamaran tahap kedua disebut duta mallino, yaitu lamaran terbuka yang diadakan dalam suatu acara yang dihadiri oleh banyak undangan. Pinangan disampaikan dan disambut oleh wakil kedua pihak dalam suatu tanya jawab (dialog).
Akan halnya Sawerigading, pinangannya memang dua kali, tetapi masing-masing terpisah satu dari yang lain. Dengan lain perkataan yang satu bukan bahagian atau lanjutan dari yang satunya lagi. Pinangannya yang pertama ditujukan kepada We Tenriabeng adik kembarnya. Pada peristiwa itu, ia sendiri yang berdialog, pertama dengan ibunya, kedua dengan ayahnya dan ketiga dengan We Tenriabeng adik kembarnya, yang berakhir dengan penolakan atas kehendaknya mengawini saudaranya sendiri, sebab perbuatan yang demikian itu melanggar adat. Lalu pinangannya yang kedua yang atas petunjuk We Tenriabeng ditujukan kepada I We Cudaiq di negeri Cina. Pinangan itu pada awalnya diterima, kemudian ditolak dan selanjutnya diterima lagi dengan berbagai macam syarat.
4. Mappasiarekeng, arti harfiahnya ialah memperkukuh atau menguatkan segala sesuatu yang telah disepakati dan menetapkan kegiatan apa lagi yang harus diadakan sebagai kelanjutannya, seperti jumlah dan jenis mahar, uang belanja, pakaian yang akan dipakai waktu akad nikah, kunjungan balik (marola) ke rumah orang tua pengantin lelaki, dan lain-lain yang jumlah dan jenisnya dapat ditambah atau dikurangi menurut kesepakatan kedua belah pihak.
Dalam proses perkawinan Sawerigading, acara meminang dengan sebahagian acara yang sekarang termasuk mappasiarekeng dilakukan dalam satu rangkaian. Pada waktu lamarannya diterima dan ditentukan pula mahar (sompa) dan uang belanjanya (pangalu wareq tetaqdeweqna) bahkan segera pula diantarkan. Konon kabarnya sompa yang disepakti ialah sompa to selli (mahar orang-orang keturunan dewa) dan pengalu wareq tettaqdewweqna, yang tiga bulan diantarnaya belum juga habis.
Malang tak dapat ditolak, baru saja uang belanja (belanja-belanja) selesai diantar, I We Cudaiq tiba-tiba keberatan kawin dengan Sawerigading, karena ia mendapat informasi salah dari para dayang-danyangnya. Karena merasa dipermalukan, Sawerigading serentak memerangi Cina dan berhasil mengalahkannya. I We Cudaiq pun menerima kembali lamaran Sawerigading disertai beberapa syarat. Semuanya diiyakan oleh Sawerigading.
5. Me’nre’q Tudang Botting, kata ini dapat diartikan pergi duduk bersanding. Acara inilah sebenarnya merupakan inti pelaksanaan suatu perkawinan, karena pada waktu itulah diadakan akad nikah, disaksikan oleh kaum keluarga dan para undangan. Dahulu acara inilah yang merupakan pesta resepsi yang dewasa ini dilakukan tersendiri.
Dalam rentetan acara perkawinan Sawerigading dengan I We Cudaiq, kegiatan ini dilakukan dengan tertutup tidak disaksikan oleh orang banyak. Namun, dalam prakteknya sehari-hari, kekosongan ini diisi dengan tata cara rombongan, seperti kalau Sawerigading mengadakan perjalanan dan perilaku penyambutannya sebagaimana kalau ia sampai di istana.
6. Marola, artinya mengikuti, dalam hal ini pengantin wanita pergi ke rumah orang tua suaminya. Waktunya dapat dilakukan setelah Acara Tudang Botting selesai dan kembali lagi ke rumahnya pada hari itu juga (marolasiesso) atau sesuai dengan kesepakatan bersama.
I We Cudaiq juga ikut ke negeri mertuanya (Luwuq) meskipun baru setelah ia memperoleh tiga anak (I La Galigo, Tenri Dio, Tenri Balobo) Keterlambatan ini antara lain disebabkan oleh sumpah Sawerigading yang tidak akan pernah lagi menginjakan kaki di Tana Luwuq.
Di antara keseluruhan tahap acara yang diuraikan di atas ada satu di antaranya yang tidak dibicarakan, yaitu mappacici yang bahasa Indonesianya ialah “berinai”. Istilah lainnya dalam bahasa bugis yaitu Tudang mpenni, artinya duduk berjaga-jaga pada malam hari menjelang pelaksanaan akad nikah pada keesokan harinya.
Pada acara ini diadakan pembubuhan daun inai yang sudah ditumbuk halus, pada kuku jemari pengantin. Dahulu hanya wanita yang di-inai (ripacci), tetapi sekarang pengantin lelaki juga. Dahulu ujung-ujung jemari dibungkus dengan inai, sekarang saja inai hanya diletakkan pada telapak tangan pengantin. Dahulu yang diminta membubuhkan inai, diutamakan keluarga yang dituakan. Sekarang tokoh–tokoh masyarakat pun disertakan, bahkan sering didahulukan.
Tahapan acara ini tidak dibicarakan dalam urutan lengkap seperti di uraikan di atas, karena imbalannya tidak ditemukan dalam Sureq Galigo, khususnya dalam rangkaian tahapan acara perkawinan Sawerigading.
Dengan uraian ini diharapkan fungsi Galigo sebagai sastra berguna atau ensiklopedi kebudayaan Bugis semakin jelas.
Ujungpandang, 08 Desember 2003
* Prof. Fachruddin AE, Universitas Negeri Makassar, disampaikan pada acara Festival dan Seminar Internasional La Galigo di Masamba, Sulawesi Selatan, 10-14 Desember 2003.
****
Fachruddin Ambo Enre dilahirkan di Watansoppeng (Sulawesi Selatan) pada tgl. 29-9-1930. Sekolah jang pernah dikundjungi ialah Sekolah Desa Schakelschppl S.M.U. (S.M.P. 4 tahun), S.M.A. Bag. B Jogja dan S.M.A. Bag. C di Makassar.
Sesudah menamatkan S.M.A ikut berlajar di B-I Bahasa Inggris sampai tingkay II, kemudian pidah ke B-I bahasa Indonesia hingga tamat pada tahun 1957.
Dalam lapangan organisasi, selain organisasi sekolah dan daerah turut aktif pula dalam IPPI (Ikatan Pemuda Peladjar Indonesia) sebagai Pengurus Daerah untuk Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Pekerdjaan jang pernah didjalani antara lain sebagai guru pada S.M.P. IPPI, S.M.P Muhammadidjah dan S.G.A. Muhammadidjah di Makassar. Pada achir tahun 1059 dipindahkan ke Djakarta mengadjar di S.G.A. Negeri sambil mengikuti peladjaran di B-II bahasa Indonesia. (Diambil dari Biografi di sampul belakang buku Perkembangan Puisi Indonesia dalam Masa Duapuluhan, Gunung Agung-Djakarta).
-----------
DAFTAR PUSTAKA
1. Ny. Andi Nurhani Sapada: Tata Rias Pengantin dan Tata Cara Adat Perkawinan Bugis- Makassar. (tanpa tahun dan penerbit).
2. Sureq Galigo, Menreqna Sawerigading Maqbaluq-baluq ri La Tanete (kepunyaan H. Ahmad Rakka Soppeng).
3. Sirtjo Koolhof, 2003, “The La Galigo a Bugis Encyclopedia and its Growth” Dalam Nurhayati Rahman, Anil Hukma, Idwar Anwar (Eds.) “La Galigo, Menelusuri Warisan Sastra Dunia. Makassar. Pusat Studi La Galigo UNHAS dan Pemda Kab. Barru.