Iklan Sponsor

Iklan

Iklan Sponsor

Iklan

terkini

Sawerigading Pahlawan Budaya

arung sejarah
, 17:18 WIB Last Updated 2023-06-16T07:56:56Z
Sawerigading Pahlawan Budaya, Sawerigading dalam Naskah, Sawerigading Sebagai Pahlawan Budaya; Simbol Budaya Maritim Di Sulawesi Selatan, Prof. Abu Hamid, Idwar Anwar, Novel La Galigo,La Galigo, Sawerigading
Prof. Abu Hamid

ARUNGSEJARAH.COM - Sawerigading Pahlawan Budaya.

 

C. SAWEREGADING: PAHLAWAN BUDAYA

SKENARIO cerita Sawerigading dalam naskah, menempatkan Sawerigading dalam posisi sentral tempat berlangsungnya refleksi dan pemancaran kebudayaan Bugis menurut aslinya pada zaman tersebut. Mulai dari struktur berfikir dan struktur kepercayaan, pandangan kosmogoni struktur dan pelapisan sosial, aturan sopan santun dalam sistem kekerabatan, aturan upacara life sycle, perintah dan larangan sebagai kontrol dan nilai-nilai kebudayaan yang keseluruhanya membentuk perilaku anggota masyarakat. Andaikata zaman ini bisa diketahui abad berapa dan tahun berapa, maka dapat dikatakan zaman ini adalah pelekatan asas-asas keberadaan masyarakat dan kebudayaan. 

Alur cerita La Galigo, hampir-hampir kita mengatakan bahwa model struktur makrokosmos yang berbentuk dari cerita, di tiru oleh model struktur sosial. Padahal sebaliknya, bahwa model struktur sosial yang dituduh oleh makrokosmos. Hal ini berarti bahwa penulis cerita mengungkapkan dan menampilkan cipta, rasa dan karsanya sesuai apa yang diketahui dan yang dialaminya dari dalam lingkungan masyarakatnya. Dalam arti, bahwa gambaran masyarakat dan kebudayaan masa lalu itu, diangkat berupa cerita dalam bentuk prosa rakyat.

Stadia berfikir manusia Bugis masa itu, berada pada tingkat kepercayaan kedewaan, sudah melewati stadia animisme dan dinamisme, namun masih banyak tersisa pada berbagai kegiatan ritus-ritus. Patotoé dianggap Dewa Tertinggi, Maha Pencipta dan penentu nasib. Dapat pula dianggap, bahwa Patotoé adalah manusia yang bersifat Dewa.

Dewa tertinggi dibantu oleh dewa bawahan yang bertugas menjaga tata tertib makrokosmos. Patotoé adalah bagian tak terpisahkan dari kesatuan makrokosmos secara totalitasnya. Bahkan Patotoé adalah makrokosmos itu sendiri.

Pandangan cosmogony dalam naskah, memandang alam raya (makrokosmos) terdiri atas tiga bagian (lapisan), yaitu Benua Atas, Benua Tengah dan benua bawah, pusat dari benua itu adalah Boting Langi’, tempat bersemayamnya Patotoé . Orientasi   langit (atas) lebih dominan daripada orientasi benua bawah. Berdasarkan tiga lapis benua, merupakan pencerminan dari bentuk rumah panggung yang terdiri atas tiga lapisan (tingkatan) yaitu tingkat atas disebut rakkiang  (langkiang) , tingkat tengah disebut ale’ bola dan tingkat bawah disebut awa sao.

Demikian pula  pelapisan sosial (social stratification) terdiri atas tiga lapisan, yaitu lapisan atas bernama Arung, lapisan tengah bernama To Deceng dan lapisan bernama To Sama. Arung adalah  raja bersama keturunanya, sedang To Deceng (orang baik-baik) adalah orang (penduduk) yang turun martabatnya dari lapisan Arung  atau kenaikan lapisan dari To Sama, karena perkawinan.

Lapisan ini lebih besar jumlahnya daripada Arung, sedang lapisan To Sama, terjadi dari To Deceng yang turun martabatnya, ditambah dari orang kebanyakan yang merdeka tanpa ikatan melakukan lapangan hidupnya, kecuali mereka mengabdikan  pada negeri.

Oleh karena itu, masyarakat Bugis sebagaimana yang tergambar pada Sawerigading mencari istri yang sepadan dengan karat kadar darah keturunanya untuk menjaga kemurnianya, supaya tidak turun martabat. Sejalan dengan itu pula, pemilihan jodoh dianggap acuan ideal harus memilih dari sepupu sekali, dua kali sampai tiga kali. Tanpa perbedaan antara cross cousin dengan parallel cousin.

Masyarakat Bugis seperti yang tergambar pada naskah, amat keras menjaga sistem perkawinan, harus dimusyawarakan diantara  keluarga. Kelompok keluarga dari kedua belah pihak, masing-masing menimbang asal keturunan, darimana kampungnya (kelahiranya), apa fungsi dan pekerjaanya, namun pihak cenderung  untuk memilih calon suami yang lebih tinggi kadar darahnya untuk meningkatkan martabatnya.

Rumah (panggung) dianggap alam kecil (mikrokosmos) dengan aturan (tata tertib) yang harus ditaati oleh anggota keluarga, aturan itu harus sama searah dengan tata tertib makrokosmos. Rumah mempunyai tiang pusat, sama dengan makrokosmos pusatnya ada pada Boting Langi’. Demikian pula desa (kampung), dianggap mikrokosmos, mempunyai pusat (posisi tanah), entah di tengah desa atau di pinggirnya tidak dipersoalkan. Tata tertib (aturan adat) desa harus  sama searah  dengan aturan rumah tangga dan seterusnya atau makrokosmos, Itulah yang tergambar pada naskah LaGaligo/Sawerigading dengan uraian cerita panjang dengan segala variasinya.

Demikian Sawerigading sebagai pelaku utama dari episodenya, memerankan  unsur dan aspek budaya masyarakat bugis tempo dulu yang sampai sekarang masih dianut oleh komunitas tertentu. Perwatakan pelakon utama, menggambarkan kepribadian rata-rata orang Bugis.

Penelitian analitis terhadap naskah Sawerigading, akan ditemukan konsep, gagasan dan kepercayaan sebagai sistem budaya dan cara-cara berkomunikasi dan bergaul dalam dialog Sawerigading dan rakyatnya, merupakan gambaran sistem sosial.

Skenario cerita telah memberi kepercayaan kepada Sawerigading untuk memanivestasikan wujud kebudayaan dengan segala sistem pendukungnya. Oleh karena itu, Sawerigading dianggap pahlawan budaya, sekurang-kurangnya menurut versi budaya.

Bersambung.... Sawerigading Simbol Budaya Maritim

Sebelumnya.... Sawerigading dalam Naskah (La Galigo)

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Sawerigading Pahlawan Budaya

Terkini

Iklan

Close x