Barbara Watson Andaya |
ARUNGSEJARAH.COM - Sawerigading dalam Diaspora Orang Bugis: Kasus Bangka (Bagian 1).
Cerita epik tentang Sawérigading, pahlawan budaya Bugis, kini tidak banyak diketahui orang di luar Sulawesi, meskipun tentu ada harapan bahwa hal ini bisa berubah.[1] Walaupun posisinya yang tinggi di I La Galigo, bahkan di Sulawesi, Sawérigading jarang disebut pada sejarah kerajaan yang menitikberatkan waktu-waktu ‘sejarah’.
Namun demikian, seperti telah diingatkan Pelras dan Koolhof, I La Galigo bukanlah sekedar tradisi kerajaan, dan penelitian mutakhir telah menemukan beberapa manuskrip di desa-desa. Pelras mengatakan, misalnya, bahwa bentuk-bentuk lisan tentang I La Galigo dan cerita Sawérigading diketahui telah menyebar sampai Gorontalo, Banggai dan Buton.[2] Para sejarawan dunia Melayu menambahkan bahwa wilayah penyebaran cerita lisan tersebut bahkan lebih luas lagi. Daftar rinci nama-nama yang tercantum dalam teks sejarah Melayu Riau abad ke-19, yaitu Tuhfat Al-Nafis, menunjukkan bahwa setidaknya satu manuskrip tentang I La Galigo telah mencapai diaspora Bugis yang lebih jauh.
Pada saat yang sama, tampaknya para pendatang Bugis juga membawa cerita-cerita lisan tentang mitos Sawérigading ke kepulauan Melayu-Indonesia. Dalam mencatat cerita-cerita yang berhubungan dengan ‘Sri Gading’ yang ditemukan di Pulau Bangka (Sumatera Selatan), sebuah manuskrip Melayu abad ke-19 yang terkenal dengan sebutan Carita Bangka memuat bukti penyebaran ini. Ditulis oleh seseorang, bukan oleh sastrawan kerajaan yang tak dikenal, Carita Bangka dapat dianggap mewakili aliran baru penulisan Melayu yang berusaha mengumpulkan, menguji, dan membandingkan sejarah-sejarah orang asli.[3] Dalam menelaah kembali cerita tentang ‘Sri Gading’, makalah ini bertujuan (1) menelusuri situasi-situasi di mana tema-temanya mengungkap sikap-sikap lokal terhadap kehadiran orang Bugis, dan (2) menjelaskan mengapa nama Sawérigading tersimpan dalam ingatan orang lokal.
Carita Bangka
Carita Bangka pertama kali menjadi perhatian kalangan akademis pada tahun 1895, ketika Frederik de Clerq menerbitkan “Bidrage tot de gescheidenis van het eiland Bangka (naar een Malaeisch handschrift)”.[4]Walaupun manuskrip yang digunakan de Clerq digandakan pada tahun 1878, namun sebuah versi awal yang ditulis dalam bahasa Latin, yang mungkin asli, bertanggal 23 Zulhijjah (2 Juli 1861) juga ada
Dalam sebuah kajian atas teks tersebut, Edwin Wieringa, yang mendukung pendapat-pendapat sebelumnya oleh Michiel Woelders, berpendapat bahwa pengarang Carita Bangka adalah seorang pejabat yang bergelar Tumenggung Kerta Negara dengan nama Arifin.[5] Rekonstruksi cermat Wieringa terhadap leluhur Arifin menunjukkan bahwa kakeknya, seorang guru Muslim dari Minangkabau, pergi bersama istrinya ke Singapura dan kemudian pindah ke Bangka bersama putra bungsunya, Muhammad. Arifin, putra Muhammad, menikah dengan seorang wanita kelahiran Bangka, Yang Hasmah, yang menjadikannya berhak untuk mendapat sebutan kehormatan Bangka, Abang.
Istri keduanya adalah seorang Cina-Muslim peranakan, bernama Khadijah. Selang beberapa waktu setelah itu, Abang Arifin menjadi sekretaris seorang residen Belanda di Mentok, dan sekitar tahun 1849 dia menjadi hakim (hoofdjaksa landraad) di pengadilan Mentok. Karena pengabdiannya membantu dalam menekan beberapa pemberontakan pada tahun 1851, Abang Arifin dianugerahi gelar Tumenggung Kerta Negara (T.K.N). Dia terkenal di seluruh Bangka sebagai ‘tangan kanan Paduka Tuan Residen’ dan kemudian meninggal pada tahun 1873.[6]
Sebagai seorang terpelajar dengan hubungan lokal yang kuat, T.K.N. Abang Arifin sangat pantas menulis sejarah lokal Bangka. Namun demikian, menurut metodologi sejarah baru yang dipelopori para pengarang Melayu seperti Munshi Abdullah dan Raja Ali Haji bin Ahmad dari Riau, adalah sangat menarik untuk memperhatikan metode penyusunan Carita Bangka.
Dua belas bab pertama terdiri dari berbagai legenda mengenai asal usul Bangka yang dikumpulkan di berbagai wilayah pulau tersebut, yang semuanya ditulis dalam bentuk yang sangat singkat. Namun demikian, Abang Arifin menolak legenda-legenda ini sebagai cerita-cerita yang murni bersifat lokal yang menguraikan pandangan masing-masing masyarakat dan gagasan-gagasan orang-orang bodoh dan bingung yang tidak tahu cara membaca dan menulis.
Abang Arifin membuktikan pada pembacanya bahwa dia dapat menulis sebuah sejarah yang bersumber dari manuskrip-manuskrip yang tertulis pada kayu lontar, pada piagam berlempeng tembaga dalam bahasa Jawa dan Arab, dan juga sejarah Johor, Palembang dan Jawa. Dia bahkan telah meneliti tulisan-tulisan yang ada dalam prasasti tombak Sultan Palembang, sebuah pedang dari penguasa Lampung, meriam Siantan dan artefak-artefak lain yang ditemukan di Bangka. Semua sumber ini, dia tekankan, telah membantu memperjelas catatan-catatan dalam pasal berikut ini.[7]
Meskipun Abang Arifin menekankan pentingnya bukti-bukti tertulis, dia masih sangat bergantung pada bukti-bukti lisan yang dikumpulkan dari berbagai komunitas di Bangka. Dia tidak sepenuhnya yakin akan asal-usul Bangka, tetapi dia menunjuk pada keyakinan umum bahwa Bangka pernah menjadi bagian Johor, seperti diungkapkan dalam salah satu cerita yang dituturkan orang-orang tua di Mentok. Pada mulanya hanya ada pulau-pulau, pegunungan yang muncul ke permukaan laut, tetapi tidak ada satupun yang memiliki nama kecuali Gunung Maras dan tidak pula ada manusia, yang ada hanyalah binatang dan pepohonan.
Menurut legenda-legenda ini, orang pertama yang tinggal di Bangka adalah seorang laki-laki dan adik perempuannya dari Sumatera yang berbuat zinah. Perempuan tersebut akhirnya hamil. Karena malu mereka berdua pergi meninggalkan Sumatera dengan rakit yang kemudian rusak karena terbentur sisi gunung Maras. Di sana pasangan tersebut membangun sawah dan kebun dan dapat hidup dengan memakan hewan-hewan dan buah-buahan.
Pada waktu itulah, Abang Arifin melanjutkan, anak raja Bugis dari Bone atau Makassar yang bernama Sri Gading tiba. Dia telah diusir ayahnya dari kampungnya sendiri karena telah berzinah dengan adik perempuannya. Isi pokok dari episode ini diambil dari sebuah legenda yang dikaitkan kepadanya oleh seseorang dari Maras, yang menghubungkan asal-usul Bangka dengan anak raja Bugis yang bernama Sri Gading, yang telah meninggalkan daerahnya untuk mencari istri. Dia mengunjungi berbagai negeri di mana dia menikah beberapa kali dengan wanita Arab, Melayu, Cina dan empat wanita dari Jawa. Sri Gading berniat untuk kembali ke daerahnya, tetapi perahunya rusak di pinggir Gunung Kalidang.
Perahu itu akhirnya menjadi pulau Bangka dan tiang-tiangnya menjadi gunung-gunung. Bagian kecil dari perahu yang rusak itu menjadi pulau Belitung. Sri Gading akhirnya kembali ke tanah Bugis seorang diri, tetapi orang-orang yang ada di perahu ditinggalkannya di pulau Bangka, sehingga mereka menjadi penghuni pertama pulau tersebut. Sebelumnya telah ada dua orang dari Palembang yang tinggal di Gunung Kalidang yang meninggal dan berubah menjadi semacam pohon bambu yang bisa bernyanyi dengan suara yang indah. Dua orang Palembang itu membantu orang-orang yang ditinggalkan dengan apa yang mereka butuhkan.[8]
Dalam penuturan kembali oleh Abang Arifin, cerita dasar ini menjadi lebih panjang dan rumit karena masuknya legenda-legenda lokal lain. Adik perempuan Sri Gading, yang bernama Dading (bukan Wé Tenriabéng, seperti dalam I La Galigo) menolak keinginan kakaknya dan mengadu pada ayahnya, Tumpu Awang, tentang apa yang telah terjadi. Sang ayah akhirnya murka dan langsung mengusir anaknya itu, meminta jangan kembali sampai dia beristrikan wanita keturunan baik-baik. Ini yang kemudian menjadi alasan kepergian Sri Gading dari tanah Bugis. Dia pergi dengan perahu yang besar lengkap dengan senjata dan para awak kapal yang berasal dari berbagai bangsa. Dia berlayar mengelilingi tanah Bugis, Jawa, Sumatera dan beberapa negeri Melayu.
Di setiap negeri yang dia kunjungi dia mengambil orang-orang untuk ikut -beberapa ada yang ikut karena keinginan mereka sendiri dan beberapa ada yang ikut karena terpaksa- menjadi anggota dari bajak lautnya. Akhirnya perahunya pun penuh. Sri Gading kemudian berlayar ke Johor, di mana dia menghadap (mengawula) ke Sultan Johor. Karena sudah banyak raja-raja Bugis di Johor, maka Sri Gading mendapat bantuan dengan mudah dari Sultan Johor dan juga mendapat wanita keturunan baik-baik sebagai istrinya, dari keturunan Cina.
Sri Gading tinggal di Johor selama beberapa lama untuk memperbaiki perahunya. Segera setelah perahunya selesai diperbaiki, dia berharap dapat kembali ke kampung halamannya, tetapi dia tidak tahu jalan pulang. Sekali lagi dia mendapat bantuan dari Sultan Johor berupa sebuah perahu yang dikemudikan oleh Nakhoda Ragam and para awak kapal dari Johor. Mereka akhirnya berlayar bersama-sama dengan para awak kapal yang diambil dari berbagai negeri yang dia kunjungi.
Dalam menceritakan kembali episode ini, Abang Arifin menyatakan bahwa dia juga memiliki lagi cerita yang lain yang berasal dari daerah Mentok dan cerita tersebut dia tulis pada pasal pertama di dalam manuskripnya. Versi Mentok yang menyatakan bahwa Nakhoda Ragam adalah Bugis peranakan terus dipakai untuk menceritakan kembali bagaimana Sri Gading dan Nakhoda Ragam beserta para awak kapal lainnya menjelajahi lautan dan merampas perkampungan-perkampungan.
Setelah beberapa lama, mereka semua terhempas angin kencang dan Nakhoda Ragam terbunuh karena tertusuk jarum milik istrinya. Amukan di dalam perahu mengakibatkan banyak orang mati atau terluka ketika perahu tersebut kandas diantara gunung Maras dan Menumbing. Beberapa orang yang selamat berhasil berenang sampai ke daratan, di antara ketiga puncak gunung Maras. Di situlah Sri Gading melihat rumah dengan sebuah kebun.
Bersambung.... Sawerigading dalam Diaspora Orang Bugis: Kasus Bangka (Bagian 2)