Prof. Anwar Thosibo |
ARUNGSEJARAH.COM - Rekonstruksi Bentuk dan Ornamen Bahtera Sawerigading.
Situs-situs peninggalan prasejarah di Pulau Sulawesi, khususnya benda-benda dan gambar-gambar yang berhubungan dengan bahtera Sawerigadin --yang tersebar di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan di tempat-tempat lainnya-- merupakan sebuah kekayaan budaya dan “budaya rupa” (visual culture) yang luar biasa.
Akan tetapi, bentuk rupa mengenai kekayaan budaya tersebut agak terlupakan dan seakan-akan tenggelam di dalam kegemaran akan pembicaraan (wacana) mengenai warisan-warisan budaya yang lebih prestise, seperti tradisi lisan, kesusatraan, sejarah lisan dan tulisan mengenai tokoh Sawerigading.
Pembahasan
dan penggunaan ceritera rakyat atau Epos Sawerigading sebagai elemen budaya,
inspirasi seni atau identitas budaya tidak lagi menjadi sesuatu yang baru, akan
tetapi elemen-elemen dari bentuk artefak budaya perupaannya seakan-akan tidak
mendapat tempat untuk itu.
Kemungkinan besar ada
sebuah alasan penting –di samping berbagai alasan-alasan lainnya– yang
menyebabkan bentuk budaya rupa bahtera
Sawerigading tidak mendapat tempat semestinya dalam wacana pembicaraan nasional
dan internasional, yaitu persoalan “jarak” (distance) atau “penjarakan”
(distanciation) antara artefak budaya rupa masa lalu tersebut dan budaya
kontemporer (baik jarak waktu, geografi, kultural dan spiritual). Budaya
kontemporer membuat jarak dengan budaya prasejarah tersebut, sehingga ia
seakan-akan tidak menjadi bagian penting kekayaan budaya, identitas, dan
kebanggaan nasional.
Bila kondisinya memang demikian, dalam upaya menimbulkan kesadaran bersama mengenai pentingnya warisan budaya prasejarah tersebut, tampaknya diperlukan semacam “politik wacana” (politics of discourse), atau tepatnya “politik tekstual” (textual politics), yaitu sebuah politik untuk memperjuangkan pentingnya wacana dan teks-teks yang dihasilkan oleh kebudayaan prasejarah (terutama bentuk visualnya) sebagai bagian yang tidak dapat diabaikan dari pembicaraan perkembangan budaya kontemporer, khususnya dalam perannya sebagai sumber pengetahuan, pembentuk identitas dan sumber inspirasi kebudayaan yang sangat kaya.
Dalam rangka politik tekstual tersebut, maka diperlukan, pertama-tama, deskripsi mengenai episode pembuatan dan pelayaran Sawerigading ke negeri Cina; memperkenalkan situs peninggalan-peninggalan budaya rupa prasejarah di Sulawesi Selatan yang erat kaitannya dengan bentuk bahtera Sawerigading dan mencoba melihat bentuk paralelismenya dengan isi materi dalam tradisi lisan dan tulisan; bagaimana cara merekonstruksi benda peninggalan prasejarah, khusunya bangun yang berbentuk geometris; dan terakhir memberikan pemahaman yang mendalam mengenai fenomena “budaya rupa” itu sendiri, khususnya bagaimana peninggalan-peninggalan budaya prasejarah dapat dilihat sebagai bagian dari budaya rupa yang relevan dengan konteks masyarakat kontemporer.
Makalah ini akan membahas bagaimana kemungkinan bentuk visual bahtera Sawerigading berkaitan dengan budaya rupa kontemporer, khususnya bagaimana obyek visual tersebut “direkonstruksi”, “dibaca” dan “digunakan” dalam berbagai bentuk budaya kontemporer, di dalam berbagai wacana “politik pembacaan” (politics of reading).
Bersambung.... Episode Pembuatan dan Pelayaran Bahtera Sawerigading