Sirtjof Koolhof |
ARUNGSEJARAH.COM - La Galigo Sebagai Cermin budaya; Beberapa Catatan (1).
Ringkasan presentasi pada Seminar I La Galigo
Apa sebenarnya La Galigo?
SUREQ Galigo, atau La Galigo, atau Bicaranna Sawérigading bukan karya sastera seperti kita biasa mendefinisikan karya sastera: Tidak ada penulis atau pengarangnya; jalur cerita cukup jelas, namun tidak tetap; perkataan tidak tetap, walau gaya bahasanya sangat konsisten; besar, atau panjangnya, tidak tetap; dan tidak pasti pengarangannya sudah tamat atau belum.
Kita kenal La Galigo kebanyakan dari sejumlah naskah yang masing-‐masing mengandung satu, dua atau kadang-‐kadang tiga episode.
Tidak ada naskah yang memuat cerita dari awal sampai akhir. Bahkan jumlah episode tidak diketahui. Di samping tradisi naskah (yang sebenarnya juga sangat penting aspek kelisanannya, karena dilagukan), ada juga tradisi lisan yang dapat dianggap merupakan bagian dari tradisi La Galigo.
Dan sejak tahun 2004 teater internasional juga menjadi bagian dari tradisi tersebut. Tahun-‐tahun terakhir juga terbit beberapa novel berdasarkan cerita La Galigo, antara lain dikarang oleh Idwar Anwar dan Dul Abdul Rahman. Dan barangkali seminar-‐seminar yang mengambil topik La Galigo dapat dianggap pula bagian baru dari tradisi tersebut.
Daripada dianggap satu karya sastra, mungkin lebih baik kita anggap La Galigo sebagai tradisi atau kumpulan cerita berseri. Tidak terlalu jauh berbeda dari serial TV sinetron di mana cerita juga cukup cair (fluid), tidak pasti panjangnya, dan setiap episode dapat dinikmati tanpa persis mengetahui jalur cerita utama.
Isinya?
La Galigo menceriterakan awal penghunian dunia dan asal-‐usul manusia. Enam generasi pertama manusia yang berasal dari dewata di dunia atas, Boting Langiq, dan dunia bawah, Pérétiwi, jelajahnya di dunia tengah diceritakan. Setelah enam generasi dunia kosong lagi, penghuninya kembali ke dunia atas dan dunia bawah. Generasi-‐generasi Batara Guru, Batara Lattuq, Sawérigading, I La Galigo, La Tenritattaq dan Apung ri Toja masing-‐masing diceritakan kehidupannya di dunia (dan sebagian kecil di dunia atas dan duna bawah). Dari kehidupannya kita khusus mengetahui mengenai kehidupan sosial tokoh-‐tokoh: kelahiran, pendidikan, perkawinan dan perjuangannya. Dan semua cerita itu dibangun atas silsilah tokoh-‐tokoh.
Bagaimana cara transmisinya?
Transmisi cerita-‐cerita La Galigo kebanyakan dalam bentuk naskah. Bagaimana cara menulis atau mengarang naskah tidak diketahui. Namun dapat kita perkirakan bahwa salah satu cara adalah sebagai 'writing composer': seperti dalam tradisi lisan seorang pengarang mengarang cerita berdasarkan 'alat', misalnya: formula, paralelisme, ulangan dan metrum. Garis besar alur cerita menjadi 'batang' cerita.
Selain 'writing composer' dapat juga dipastikan naskah dapat disalin dari naskah yang lain. Bagaimana cara itu, tidak begitu jelas. Seandainya pada umumnya salinan sangat teliti, seharusnya kita dapat jauh lebih banyak naskah yang lebih bermiripan. Tapi, justru variasi antara naskah-‐naskah salah satu episode sangat besar. Hal itu sesuatu yang khas untuk tradisi La Galigo: hampir tidak dapat naskah isinya pasti dikopikan dari naskah yang lain. Berarti juga tidak dapat dipastikan ada versi 'asli'.
Di sini juga perlu dikemukakan bahwa untuk mayoritas konsumen cerita La Galigo merupakan tradisi lisan: mereka selalu mendengar seorang passureq membacakan ceritanya. Buat mereka tidak ada bedanya antara cerita yang dituliskan atau yang dikarang pada saat performancennya. Sebuah naskah biasanya mengandung satu atau dua episode. Jalur cerita utama, yang memuat 'semua' episode tidak ada dalam bentuk tertulis.
Apa fungsi cerita?
Sebuah karya (atau koleksi karya) seperti La Galigo, selain mempunyai fungsi penghiburan dalam masyarakat ada fungsi lain pula. Manusia tidak bisa hidup tanpa cerita. Dua minggu lalu ada buku diterbitkan dengan judul: The Storytelling Animal (Binatang yang bercerita). Intinya, manusia selalu memerlukan cerita untuk mengerti dan mengertikan dunia dan lingkungannya. Setiap pengalaman diberikan tempat di dalam sebuah cerita. Dan otak kita hanya dapat memproseskan informasi (baik dari luar, maupun dari dalam) melalui cerita.
Mungkin ciri khas kemanusiaan yang paling menonjol adalah sifat sosial kita. Setiap orang mempunyai jaringan dan hubungan dengan ratusan orang lain. Setiap manusia harus menyesuaikan diri dengan orang lain, dan perlu mempunyai ketrampilan bergaul dan mencari jalan hidup di antara masyarakat lain yang harus berbuat begitu juga. Untuk menghadapi tantangan yang bermuncul dalam jaringan sosial manusia mempunyai bahasa. Dengan kata lain: kita punya budaya.
Robin Dunbar berpendapat bahwa kemampuan berbahasa manusia berasal dari tantangan jaringan sosial yang meluas. Hanya dengan bahasa kita dapat memelihara hubungan sosial dengan begitu banyak orang lain. Dan menurut Dunbar fungsi awal bahasa adalah gossip: cerita atau tukaran informasi mengenai orang lain di lingkungan kita. Berarti, bukan hanya gossip dalam arti sempit -‐ menukarkan informasi negatif mengenai orang di sekitar -‐ tapi yang luas, semua informasi mengenai orang lain, mengenai hubungan antara orang lain, mengenai perbuatan orang lain, mengenai pendapat orang lain, mengenai karakternya, mengenai rahasianya, dst.
Untuk bertahan di dalam lingkungan sosial dan alam tidak cukup hanya bercerita, kita memerlukan pengalaman. Dari pengalaman kita belajar dan dapat menangani sebuah situasi yang pernah sebelumnya kita alami lebih baik dan tepat. Namun, tidak mungkin kita dapat mengalami setiap situasi dalam kenyataan. Dan kadang-‐kadang lebih baik begitu: banyak situasi terlalu bahaya dan risikonya kita terluka atau malah mati terlalu besar.
Kita juga dapat mengalami sesuatu atau sebuah situasi melalui cerita. Dan bukan hanya melalui cerita yang benar atau nyata, tetapi juga melalui fiksi, cerita yang tidak pernah terjadi dalam kenyataan tapi muncul dari imajinasi seseorang atau sekelompok orang. Pasti kita semua pernah mengalami emosi kita pada saat lagi menikmati sebuah karya fiksi, seperti film, sinetron, novel atau dongeng. Ada yang ketawa, menangis, marah, berteriak atau terharu, walaupun kita sudah mengetahui dengan pasti bahwa kejadian yang membuat kita beremosi tidak nyata. Hanya fiksi. Hal yang sama terjadi di dalam fiksi yang paling pribadi, yaitu mimpi: kita dapat mengalami situasi apa saja, tanpa ada bahaya. Dan itu merupakan pelajaran buat situasi yang nyata.
Bersambung.... La Galigo Sebagai Cermin budaya; Beberapa Catatan (2)