Prof. Anwar Thosibo |
ARUNGSEJARAH.COM - Episode Pembuatan dan Pelayaran Bahtera Sawerigading.
KEINGINAN Sawerigading mengawini We Tenriabeng saudara kembarnya yang sangat cantik dan baru ia lihat pertama kali, dihalangi oleh ayahnya yaitu Batara Lattu karena keinginan itu bertentangan dengan aturan adat. Setelah pelarangan itu Sawerigading bersedih hati dan sangat kecewa, ia selalu termenung saja.
Untuk menyenangkan hatinya yang sedih, maka ayahandanya dan saudaranya kembali membujuknya dan menyarankan agar ia mau pergi berlayar ke negeri Cina untuk mencari dan mengawini saudara sepupunya yaitu We Cudai seorang putri jelita yang paras kecantikannya sama seperti kecantikan We Tenriabeng.
Mereka mengatakan bahwa bila tidak demikian keadaannya, maka silahkan kembali ke tanah Luwu dan semua pantangan tanah dan larangan adat di istana yang sudah ditetapkan sebelumnya sudah tidak berlaku lagi. Sebagai putra mahkota, Sawerigading akhirnya rela melepaskan jabatannya sebagai calon raja dan memilih berlayar ke negeri Cina.
Pelayaran ke negeri Cina memerlukan bahtera yang sangat besar sementara bahtera yang ada sekarang agak kecil dan sudah tua, sehingga tidak memungkinkan lagi untuk dipakai, oleh karena itu, maka perlu dibuat sebuah bahtera yang baru. Atas restu Batara Lattu sebagai raja tanah Luwu, maka pohon Walenreng yang tegak berdiri di possi tanah yang ukuran lingkaran batangnya tujuh ribu depa dengan ketinggian tiga ribu depa, sehingga puncaknya dapat dilihat di Jawa direlakan untuk ditebang. Pohon ini merupakan pilihan yang tepat untuk dijadikan sebagai sebuah bahtera.
Dengan perasaan gembira Sawerigading bersama pengikutnya menuju hutan Mangkuttu tempat tumbuhnya pohon Walenreng. Setelah sampai di tempat, upacara adat dilaksanakan sebagai awal memulai penebangan. Berbagai macam keahlian dukun yang didatangkan dari berbagai daerah dimanfaatkan untuk kepentingan upacara penebangan itu.
Pertama-tama mereka memercikkan air suci, kemudian menyalakan obor, menghamburkan biji pinang, serta aneka macam bunyi-bunyian diperdengarkan. Para dukun membaca doa dan manteranya masing-masing untuk memperlancar acara tersebut. Pukulan gendang dan tarian pun dimulai, orang belang meniup serulingnya, sedangkan si cebol bersenandung dengan lagu keramatnya. Bersamaan dengan itu, perintah penebangan dimulai. Dengan segera tukang tebang melingkari batang Welenreng sambil mengayunkan kapak tajamnya. Tetapi kulit Welenreng tidak dimakan kapak, tergores pun tidak, bahkan mata kapak tukang tebang pecah bagaikan piring, tangkainya patah dan kulit tangan penebangpun lepuh.
Setelah berita ketidakberahasilan penebangan pohon Walenreng disampaikan kepada We Tenriabeng, ia segera mengirimkan sebuah kapak sakti yang asal muasal kapak itu turun dari langit. We Tenriabeng pun memberikan persyaratan bahwa kapak itu dapat berhasil bila digunakan oleh mereka yang mempunyai garis keturunan dari langit (bangsawan).
Setelah diadakan upacara sebagaimana mestinya, maka ayunan kapak oleh La Pananrang, La Panguriseng dan ayunan kapak raja-raja lainnya bagaikan menebang batang pisang. Setelah tiga hari lamanya penebangan dilakukan, maka tumbanglah Welenreng yang besar itu. Demikian besarnya pohon itu, gunung terpotong dua karena ditimpa beratnya, beberapa perkampungan tenggelam oleh karena banyaknya telur burung yang pecah. Burung ribut kepanikan, binatang melata berlarian ketakutan, bahkan gemuruh tumbangnya terdengar di atas langit dan di bawah tanah.
Batang pohon Walenreng yang tumbang itu langsung meluncur masuk ke dalam laut. Orang yang menyaksikannya terheran-heran, sementara Sawerigading hampir pingsan dibuatnya dan berencana membunuh diri karena harapan mendapatkan bahtera tumpangannya untuk berlayar mendapatkan We Cudai pupus sudah. Melihat keadaan yang demikian, ayahanda Sawerigading yaitu Batara Lattu segera menyusul batang pohon Walenreng masuk ke dalam lautan. Di dasar lautan, Sinaung Toja memberitahukan Batara Lattu bahwa ia sendiri yang akan menyelesaikan pekerjaan pembuatan bahtera itu, karena pekerjaan pembuatan bahtera tidak dapat diselesaikan oleh penghuni bumi. Kelak akan dimunculkan di atas air lengkap dengan segala isi dan kelengkapannya serta bahtera pengiringnya.
Berita pembuatan bahtera oleh Sinaung Toja di bawah lautan disampaikan Batara Lattu kepada Sawerigading, dan tentu saja Sawerigading merasa gembira tentang hal itu. Pada suatu hari, ketika Sawerigading termenung menunggu penyelesaian pembuatan bahtera Walenreng, tiba-tiba terjadi gelap gulita, kilat sambung menyambung, petir dan guntur saling bersahutan. Orang menjadi terkejut semuanya. Maka setelah reda, kelihatanlah tujuh buah bahtera berjejer di pelabuhan lengkap dengan segala peralatannya. Satu buah bahtera sangat besar, sedang yang enam lagi agak kecil.
Setelah semua perlengkapan berlayar sudah tersedia, maka dicari hari yang baik untuk memulainya. Seorang dukun menerangkan kepada Sawerigading bahwa ada dua alternatif yang baik dalam memulai pelayaran ini.
Alternatif pertama jatuh pada hari Minggu atau hari kesepuluh dalam bulan itu, pelayaran akan sampai ke tanah Ugi dengan selamat tanpa kekurangan sesuatu pun. Memajukan lamaran akan diterima dengan baik akan tetapi biasanya ada korban.
Alternatif kedua jatuh pada hari Rabu bertepatan dengan hari ketujuh dalam bulan itu, pelayaran akan menghadapi musuh sebanyak tujuh kali akan tetapi dikalahkan semuanya. Lamaran diterima tetapi ditolak kembali, akhirnya mengadakan perang dan menang. Di samping itu akan melahirkan anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Sawerigading memilih alternatif yang kedua. Ia bersumpah sebelum berangkat, bahwa tidak akan kembali lagi ke negeri asalnya yaitu Luwu. Sawerigading bersumpah hancur dengan keturunannya, padam bak pelita, pecah berantakan bagai tungku tanah, kalau kembali lagi. Pengiring yang mendengar turut menangis semuanya termasuk kedua orang tuanya.
Beberapa hari setelah berlayar, mereka bertemu dengan pasukan bajak laut Paguling dan Mancapai yang menghadangnya di tengah laut. Untuk menghindari peperangan, Paguling akan diberikan apa saja yang diminta ataukah mengadu ayam. Permintaan ditolak dan terjadilah peperangan. Panrita Ugik berhasil menombak pinggang Paguling, kepalanya dipotong dijadikan hiasan bahtera di geladak. Pasukan Sawerigading yang meninggal dihidupkan kembali.
Setelah dua puluh hari berlayar, bertemu lagi dengan bajak laut La Tuppu Solo. Pimpinan bajak laut ini adalah keturunan La Daeng Lebbi yang pernah bersumpah akan pupus laksana unggun api dan padam bagaikan pelita apa bila melawan keturunan raja dari Luwu. Sumpah ini tidak diharaukan dan tetap ingin berperang. La Massaguni menombak dada La Tuppu Solo, kemudian memotong kepalanya untuk dijadikan hiasan bahtera.
Di suatu malam, bertemu lagi dengan pasukan bajak laut La Tuppu Gellang Jawa Riaja. Dalam peperangan ini La Massaguni dapat membunuhnya dan yang memotong kepalanya untuk dijadikan hiasan adalah To Appemanu.
Adapun pasukan bajak laut keempat adalah La Toge Tana yang dibunuh oleh La Massaguni. Semua kapal bajak laut yang dikalahkan menjadi milik Sawerigading. Bajak laut ke lima yang dihadapi adalah pasukan La Tenri Pula. Pasukannya pun dapat dikalahkan dengan mudah, sedangkan La Tenri Pula dapat dibunuh oleh To Appemanu.
Pada malam keenam puluh lima dalam pelayarannya, bertemu dengan pasukan bajak laut La Tenri Nyiwi Lagi Risompa. Sebelum berperang, mereka menyabung ayam, tetapi setelah ayam La Tenri Nyiwi Lagi Risompa mati, dia kemudian membunuh ayam To Appemanu. Seketika terjadi perang, dan setelah berlangsung selama tujuh hari lamanya, La Tenri Nyiwi mengutus Mita Ri Lau pergi meminta bantuan kepada Sangiang Kiki. Begitupun Sawerigading meminta bantuan We Tenriabeng. Akhirnya La Pananrang dapat membunuh La Tenri Nyiwi, kemudian memenggal kepalanya dijadikan hiasan di geladak.
Lima belas hari pelayaran sesudah perang di atas, Rombongan Sawerigading bertemu lagi dengan pasukan Settia Bonga yang merupakan tunangan We Cudai, namun dapat diperdayakan seolah-olah Sawerigading sudah diterima lamarannya, sedang pertunangnya dengan We Cudai sudah dibatalkan. Setelah tiga hari berperang, Settia Bonga menyerah dan berjanji tidak akan berperang melawan keturunan raja Luwu kelak, serta menyerahkan seorang kepercayaannya yaitu La Bolong Tiu sebagai bukti kekalahannya, yang akan disampaikan nanti di hadapan We Cudai setelah tiba di tanah Cina.
Dalam pelayaran seterusnya, iring-iringan bahtera Sawerigading yang singgah berlabuh di Tana Tekko daerah Kerajaan Tejjo Risompa sepupu sekali We Nyili Timo. Sawerigading pun menceriterakan pelayarannya dan kecintaanya pada saudara kembarnya, tetapi ditolak oleh orang tuanya, masyarakat Luwu dan Pati Ware. Itulah sebabnya ia marah dan membuang diri dengan maksud ingin melamar We Cudai di tanah Cina. Dijawab oleh Tejjo Risompa bahwa memang hal yang demikian merupakan pantangan. Andaikan lamarannya diterima oleh We Cudai, dia sendiri akan menanggung maharnya walaupun angkutan maharnya itu diangkut selama tiga atau lima bulan.
Setelah melamar dan mempunyai anak dari We Cudai, Sawerigading pun bermaksud untuk kembali ke Luwu. Dalam acara reuni keluarga ini, Sawerigading kembali berlayar ke negerinya, karena melanggar sumpahnya, maka batera Walenreng dan Sawerigading akhirnya tenggelam (tinrellek) di pelabuhan.
Bersambung.... Situs-Situs Peninggalan Prasejarah di Sulawesi Selatan yang Bentuknya Menyerupai Bahtera Sawerigading
Sebelumnya.... Rekonstruksi Bentuk dan Ornamen Bahtera Sawerigading