ARUNGSEJARAH.COM - Menyingkap Jejak Kehidupan Orang Toala di Bantaeng 4700 tahun Lalu.
Butta Toa sebuah julukan untuk menyebutkan wilayah Bantayang atau Bonthain yang kini disebut sebagai Bantaeng yang merupakan salah satu kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan.
Nama Bantayang merupakan salah satu wilayah yang disebutkan Empu Prapanca dalam karyanya Negarakertagama dalam Pupuh 14 yang ditulisnya pada tahun 1365.
Disebutkannya nama Bantaeng dalam Negarakertagama ini memberikan indikasi bahwa wilayah Bantaeng cukup diperhitungkan pada masa itu oleh Kerajaan Majapahit yang banyak menguasai wilayah di Nusantara.
Selain itu, nama Butta Toa juga menyimpan banyak misteri masa lalu yang nantinya akan kami ungkap pada beberapa video di channel ini.
Salah satunya tentang kehidupan Orang Toala yang hidup sekitar 4.700 tahun lalu di sekitar Kawasan Batu Ejaya, seperti yang diungkap dalam buku Butta Toa “Jejak Arkeologi Budaya Taola, Logam, dan Tradisi Berlanjut di Bantaeng” yang disunting M. Irfan Mahmud bersama Budianto Hakim yang terbit pada tahun 2017.
Pada episode sebelumnya, kita telah mengungkap mengenai misteri kehadiran orang Toala di Bantaeng pada sekitar 4700 tahun silam.
Lalu bagaimana kehidupan orang Toala dan makanan apa saja yang dikonsumsi orang Toala untuk bertahan hidup?
***
Orang Toala yang hidup sekitar 4.700 tahun lalu di sekitar Kawasan Batu Ejaya memiliki kehidupan yang menarik untuk diungkap.
Pertanyaan mengenai, bagaimana orang-orang Toala menaklukkan alam untuk memenuhi kebutuhan makanan sehari-harinya, tentu menarik untuk ditelusuri.
Dalam tulisannya dalam buku Butta Toa “Jejak Arkeologi Budaya Taola, Logam, dan Tradisi Berlanjut di Bantaeng”, M. Irfan Mahmud mengungkapkan bahwa jika dilihat dari jejak sampah makanan pada situs Batu Ejayya, tampak tergambar bahwa aktivitas Orang Toala adalah berkelana menjelajah lingkungan biota air laut dan hutan hujan tropis.
Mereka mengeksplorasi hutan hujan tropis, rawa, sungai serta gua gelap dan lembab, bahkan bisa menjelajah hingga pantai, sejauh 7 kilometer.
Di depan situs sekarang, masih bisa menerawang hutan hujan tropis lebat yang bisa memastikan bahwa manusia prasejarah di Kawasan Batu Ejaya semula tidak terlalu sulit memenuhi kebutuhan makanan. Alam menyiapkan bagi mereka berbagai jenis vegetasi layak makan secara berkelimpahan, seperti daun, sayuran dan atau buah-buahan.
Menurut, M. Irfan Mahmud yang juga seorang Doktor Antropologi dan Kepala Balai Arkeologi Sulawesi Selatan menyebutkan, Pada masa-masa awal menghuni kampung purba Batu Ejaya, tentu bukan hal sulit bagi Orang Toala memenuhi konsumsi protein hewani. Habitat hutan Bantaeng menyiapkan kelimpahan jenis fauna layak konsumsi.
Memang mereka tidak mengenal domestikasi hewan, tetapi kaum laki-laki sangat kuat dan pandai berburu. Mereka memiliki peralatan memadai dan sudah cukup pandai mengeksploitasi hutan dan fauna, baik vertebrata maupun avertebrata.
Fauna vertebrata dan avertebrata telah menjadi sumber makanan penting dalam kebudayaan orang Toala sejak awal menghuni kawasan Batu Ejaya, yang merupakan warisan pengalaman turun-temurun dari pendahulunya.
Ini terbukti dari jejak temuan artefak tulang pada situs yang menunjukkan bahwa mereka tak segan-segan mengkonsumsi fauna vertebrata berupa ular, kuskus Sulawesi kecil, kelelawar pemakan serangga, tikus, babi Sulawesi, babirusa (Celebes warty pig), anoa, monyet Sulawesi, dan banyak lagi yang tak teridentifikasi.
Dari sekian banyak sumber protein hewani tersebut, tikus paling digemari, menyusul babi Sulawesi dan babirusa, serta anoa dan monyet.
Sehari-hari mereka dapat memenuhi kebutuhan hewani dengan menangkap tikus, tetapi pada momen istimewa atau berhasrat, mereka dapat berburu babi, babirusa, dan anoa untuk dikonsumsi bersama dalam kelompok.
Temuan artefak tulang menunjukkan, sebagian besar sumber protein hewani Orang Toala merupakan old endemic Sulawesi yang menggambarkan adanya pewarisan pola makan dari masa sebelumnya yang lebih tua. Artinya, manusia akan memakan apa yang sudah menjadi memori kolektif berdasarkan pengalaman panjang kebudayaan mereka.
Selain jenis fauna mamalia darat, sudah terbukti dari data arkeologis bahwa Orang Toala di kawasan Batu Ejaya juga mengkonsumsi fauna laut.
Tampaknya, sumber protein hewani sehari-hari diperoleh bukan fauna vertebrata melainkan avertebrata, baik kerang darat maupun laut.
Jenis fauna laut yang mereka konsumsi dari takson genus brachyura (kepiting). Selain kepiting, mereka juga gemar mengkonsumsi kerang laut dari jenis anadara sp., mollusca pulmonata, telescopin dan landsnail (kerang air tawar).
Kerang selain sangat lezat dan memiliki masa simpan lama (2 minggu sampai 1 bulan), juga bermanfaat bagi kesehatan, karena merupakan makanan bernutrisi tinggi, kaya protein (Omega 3 dan Omega 6), mineral besi, selenium, vitamin B12 dan zat berguna lainnya, sebaliknya rendah kolestrol.
Orang Toala mengolah makanan avertebrata berupa kerang dengan cara rebus dan bakar.
Dari sisa artefaknya, dapat diketahui bahwa Orang Toala di Bantaeng cenderung lebih suka mengkonsumsi kerang bakar atau yang sudah dipanggang dibanding yang direbus.
Kecenderungan pilihan olahan seperti itu akan membebaskan mereka dari bahaya penyakit serius, karena jenis hewan ini paling mudah menyerap berbagai polutan dan bakteri serta mengandung bakteri Vibrio vulnificus yang bisa secara mendadak menurunkan sistem kekebalan tubuh, gangguan pencernaan, diabetes.
Strategi konsumsi kerang secara teratur yang dilakukan Orang Toala di Bantaeng merupakan kebiasaan positif.
Selain dapat menjaga kebugaran mereka dan baik untuk diet, juga mengurangi resiko kematian akibat serangan jantung mendadak, mengendalikan tekanan darah dan kadar kolestrol.
Lalu bagaimana orang Toala melakukan perburuan hewan dan alat apa saja yang digunakan? Simak pada tulisan lainnya.
Tonton Videonya di Youtube IDWAR ANWAR